Home » Tantangan ASEAN Mengelola Tarikan Hegemoni China-AS di Kawasan
ASEAN Berita Global News

Tantangan ASEAN Mengelola Tarikan Hegemoni China-AS di Kawasan

Situasi kawasan akhir-akhir ini masih diliputi sejumlah persoalan. Selain ketegangan yang meningkat antara Korea Selatan dan Korea Utara, klaim wilayah di Laut China Selatan antara China dan Filipina juga kembali menguat. Terakhir, Sabtu (9/12/2023), terjadi insiden antara kapal penjaga pantai China dengan kapal perikanan Filipina gugusan karang Scarborough. Pihak Filipina mengatakan, kapal penjaga pantai China “menyerang” kapal perikanan Filipina dengan menyemprotkan air menggunakan meriam air.

Duta Besar Amerika Serikat untuk Filipina MaryKay Carlson dalam “X” mengatakan, perilaku China itu “melanggar hukum internasional dan membahayakan nyawa”. AS, tutur Carlson mendukung sikap Filipina yang mengedepankan prinsip bebas dan terbuka di Indo-Pasifik.

Membela langkah penjaga pantai China, Beijing mengatakan, tindakan yang diambil merupakan “langkah-langkah pengendalian” terhadap tiga kapal penangkap ikan Filipina. Menurut mereka, kapal-kapal itu melanggar wilayah China di perairan Scarborough.

Hingga saat ini, persoalan serupa belum mendapat penyelesaian tuntas. China bersikukuh bahwa hampir seluruh wilayah Laut China Selatan adalah wilayahnya. Sementara beberapa negara di Asia Tenggara dan Taiwan memiliki klaim wilayah di kawasan Laut China Selatan. Filipina pernah mengajukan keberatan atas klaim China, dan pada tahun 2016 Mahkamah Arbitrase Internasional mengabulkan keberatan Filipina. Namun China tidak mengakuinya.

Di sisi lain, untuk menekan ketegangan, ASEAN berinisiatif untuk membangun mekanisme dialog melalui ASEAN Outlook of Indo Pasific dan kode tata perilaku di kawasan yang dikenal dengan Code of Conduct (CoC). Akan tetapi, Implementasi AOIP dinilaibelum memberikan rasa aman di tengah persaingan, perebutan pengaruh antara dua kekuatan besar di kawasan.

Instrumen-instrumen yang dimiliki ASEAN dan dituangkan dalam AOIP dinilai belum cukup untuk mengurangi potensi konflik yang terjadi akibat persaingan dua kekuatan besar. Yang terjadi adalah ketergantungan negara-negara ASEAN terhadap kekuatan besar yang bersaing.

Di saat yang sama, mereka juga berusaha menanamkan pengaruh melalui berbagai saluran, mulai dari politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan hingga sosial budaya.

Hal demikian disampaikan Joanne Lin Weiling, Co-Coordinator Studi ASEAN di ISEAS Yusof Ishak Institute Singapura saat berbicara pada kegiatan Talking ASEAN yang diadakan The Habibie Center di Jakarta, Jumat (8/12/2023). Hadir dalam kegiatan itu Aleksius Jemadu, profesor hubungan internasional Universitas Pelita Harapan dan Ian Montratama, dosen hubungan internasional Universitas Pertamina.

Joanne Ling mengatakan, Indo Pasifik yang diperkenalkan sebagai konsep lebih dari satu dekade lalu dan kemudian diimplementasikan sebagai sebuah konsep oleh ASEAN pada tahun 2019, kini berhadapan dengan berbagai hal serupa yang coba didesakkan oleh berbagai negara besar di kawasan. Langkah serupa itu mewujud dalam kerangka kerja sama militer dan keamanan, seperti Quad (AS, Australia, India, dan Jepang), dan AUKUS (Australia, AS, Inggris).

Sementara AOIP dalam konsep idealnya, kata Joanne, ingin melakukan kerja sama dengan banyak pihak, bahkan dengan Rusia dan China. Indonesia, kata Joanne, bekerja untuk lebih membumikan konsep AOIP dengan cara membuat AOIP menjadi sebuah forum kerja sama yang memberikan keuntungan, terutama kerja sama ekonomi dan pembangunan, seperti pembiayaan hijau, keterhubungan digital dan sebagainya.

“Ini bentuk kerja sama yang istilahnya low hanging fruit. Hal-hal itu bagus. Akan tetapi, dengan ada AUKUS, Quad dan berbagai kerja sama bidang keamanan lainnya, AOIP tidak cukup untuk memberikan jaminan keamanan pada kawasan ini,” kata Joanne. Dia menambahkan munculnya minilateralisme bisa melemahkan sentralitas ASEAN.

Mengutip data Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI, ancaman di kawasan Indo-Pasifik meliputi tiga hal utama, yakni rivalitas kekuatan besar, minilateralisme dan proliferasi nuklir di kawasan, serta meningkatnya kejahatan transnasional. Rivalitas kekuatan besar dunia tidak sebatas pada pertunjukkan kemampuan militer dengan peningkatan anggaran pertahanan semata. Mereka kini telah terang-terangan memperlihatkan kapasitas persenjataan dan kekuatan militernya di lapangan.

Hal ini bisa dilihat dari situsi yang pernah terjadi di Selat Taiwan, terutama ketika kunjungan mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat AS Nancy Pelosi ke Taiwan. China tanpa segan unjuk kemampuan militernya. Dengan dalih tengah melakukan latihan militer gabungan antarmatra, China terang-terangan “mengepung” Taiwan.

dengan ada AUKUS, Quad dan berbagai kerja sama bidang keamanan lainnya, AOIP tidak cukup untuk memberikan jaminan keamanan pada kawasan ini.

Kerja sama pertahanan Quad juga bisa menjadi salah satu contoh lainnya. Sementara, AUKUS, kerja sama pengembangan teknologi kapal selam bertenaga nuklir oleh Australia, Inggris dan Amerika Serikat, bisa menjadi contoh bagaimana proliferasi nuklir belum optimal terjadi di halaman depan ASEAN. Negara-negara pemilik senjata nuklir hingga saat ini belum mau menandatangani traktat kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ).

Ian Monratama mengatakan, AOIP yang disusun oleh ASEAN adalah upaya negara-negara di kawasan ini untuk mengubah tantangan dalam persoalan keamanan, kebijakan containment policy (kebijakan pengadangan) negara-negara adidaya, ke sebuah konsep neoliberal, kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan. Dia menyebut negara-negara ASEAN menyadari bahwa kapasitas dan kapabilitas militer mereka berada di bawah kemampuan negara adidaya yang bersaing di kawasan, khususnya China dan AS.

Pada saat yang sama, ASEAN menyadari dinamika keamanan riil yang terjadi karena persaingan kedua negara adidaya di kawasan, akan berdampak pada upaya pembangunan yang tengah diupayakan.

AOIP, menurut dia, adalah jalan tengah yang disusun ASEAN untuk mengelola dinamika kawasan menjadi sebuah hal yang memberikan dampak, terutama kesejahteraan. “ASEAN, dengan situasi yang melingkupinya (persaingan kekuatan besar di kawasan), memilih menjadi honest broker atau perantara antara kedua kekuatan besar dengan menggunakan mekanisme yang ada (duduk bersama dan negosiasi),” katanya.

Meski begitu, Ian meyakini bahwa China tetap akan menjadi kekuatan hegemonik dengan kemampuan dan kapasitas yang dimilikinya, baik ekonomi maupun militer. Sejarah panjang China, sebutnya, juga membuktikan hal itu.

Aleksius Jemadu berpendapat senada soal kekuatan hegemonik itu. Dia menilai, meski AS mendapat tantangan dari China, sifat alami sebuah negara adidaya yang dimiliki AS tetap akan membuatnya mencoba tetap menjadi kekuatan hegemonik dengan postur kemampuan militer yang dimilikinya.

Sebaliknya, China, yang memiliki kemampuan ekonomi lebih baik dibandingkan dengan AS, akan mencoba menjadi kekuatan hegemonik mengunakan kemampuan ekonominya. “China sadar dan paham bahwa negara-negara berkembang membutuhkan bantuan ekonomi. Ini yang menjadi alat bagi China untuk mendominasi,” katanya.

Upaya ASEAN untuk mengurangi tensi di Laut China Selatan pun tidak akan memiliki dampak yang signifikan, terutama karena kode perilaku (CoC) yang tengah dibahas dengan China belum usai hingga saat ini, meski sudah dibahas sejak tahun 2012 lalu. Aleksius berpendapat, China hanya bersikap sopan untuk mau duduk bersama dengan ASEAN dan membahas mengenai CoC. China memiliki pandangan yang berbeda dengan ASEAN soal Laut China Selatan, terutama karena dinilai hal itu akan membatasi pergerakannya di kawasan.

Hasil penelitian tim politik luar negeri Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP BRIN) yang baru diluncurkan Kamis (7/12/2023), salah satunya adalah membahas soal relasi Indo Pasifik dan ASEAN. Riset tersebut menyatakan, dinamika Indo Pasifik mengancam ASEAN dan membuat organisasi ini perlu menggunakan pengaruhnya untuk meminimalisir konflik di dalamnya, khususnya yang berada di halaman ASEAN itu sendiri.

AOIP, menurut Joanne, juga belum dipandang oleh ASEAN sebagai platform bersama untuk mendapatkan keamanan bagi kawasan yang di sekelilingnya saat ini tengah dilanda ketegangan. Hal ini dibuktikan, menurut dia, dengan ketiadaan dukungan yang signifikan dari bidang pertahanan untuk merespon situasi ketegangan tersebut. Perremuan ADMM yang terakhir di Jakarta, menurutnya, bisa merefleksikan hal itu.

Untuk itu, dia menyarankan agar setidaknya para pengambil kebijakan di ASEAN melakukan beberapa tindakan, yaitu melakukan perencanaan kegiatan berkelanjutan dalam kerangka AOIP (multiyears), memilih kegiatan yang didasari pada kebutuhan riil anggotanya dibanding mengerjakan proyek dari negara mitra untuk mempertegas sentralitas ASEAn dan mengejar kualitas kegiatan dibanding kuantitas.

Sumber: KOMPAS.id

Translate