Home » Pariwisata untuk Kebangkitan Ekonomi Aceh
Aceh Berita Ekonomi Indonesia Sumatera Tourism

Pariwisata untuk Kebangkitan Ekonomi Aceh



TAK ada yang lebih menyakitkan bagi Aceh selain “prestasi” sebagai daerah termiskin, pertama di Sumatera dan ke-enam tingkat nasional-Indonesia. Inilah ironi terbesar yang tak sepatutnya terjadi. Kaya sumber daya alam, berada di posisi strategis di perlintasan jalur perdagangan nomor dua tersibuk di dunia, Selat Malaka, juga posisinya di ujung paling Barat Indonesia dengan akses yang terbuka dan langsung via laut dan udara ke beberapa kawasan di belahan Barat dunia: India dan Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika, Mediterania, dan Eropa, dengan potensi market lebih dua miliar populasi manusia. Semua keunggulan ini nyatanya belum mampu dikapitalisasi untuk melejitkan pembangunan dan kemajuan ekonomi Aceh.

Suntikan dana Otsus yang lumayan mendongkrak belanja pembangunan, dan di awal diharap bisa menjadi stimulan akselerasi pembangunan Aceh, ternyata juga belum berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, yang terus dikonfirmasi oleh status kemiskinan Aceh.

Sementara di sisi lain sesuai “kontrak”, mulai 2023, tahun ini, alokasinya berkurang dari dua menjadi satu persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) hingga habis masa alokasinya pada tahun 2027, dan sulit berharap di tengah beratnya beban fiskal negara aspirasi perpanjangannya akan dipenuhi oleh Pemerintah Pusat.

Reorientasi

Lalu apa pilihannya sekarang buat Aceh? Sebenarnya kita tidak perlu terlalu kuatir dan risau dengan menyusut dan habisnya masa alokasi dana Otsus. Masa depan Aceh belum sampai pada tingkat berada di titik buntu karena masih memiliki modalitas SDA yang melimpah plus posisi geostrategis yang sangat potensial menjadi keunggulan kompetitif daerah ini. Tinggal sekarang bagaimana kedua faktor pemungkin ini bisa dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal.

Setidaknya, secara umum ada tiga hal yang perlu dibenahi sekaligus didorong menjadi strategi baru pembangunan Aceh ke depan untuk menjawab syarat tersebut di atas, yaitu pertama pembangunan Aceh mesti dikelola dengan perspektif program, bukan proyek. Proyek dan kegiatan itu adalah turunan dari program.
Jadi yang harus dikawal dan diberi rapor merah, kuning, hijau itu bukan hanya realisasi fisik dan anggaran proyek dan kegiatan dengan lebih melihat sisi ouputnya, tapi juga realisasi program yang lebih menekankan pada outcome dan impact pembangunan.

Kedua, pembiayaan pembangunan Aceh ke depan tak boleh lagi terpaku kaku hanya pada APBA. Sudah harus ada langkah progresif menghimpun dan mengonsolidasi sumber-sumber pembiayaan lain baik itu APBN terutama dengan memperbanyak dan memperkuat program strategis nasional di Aceh sehingga dengan sendirinya menjadi komitmen APBN untuk membiayai sekaligus mengurangi beban APBA yang mulai menyusut.
Lalu juga ada sumber-sumber pembiayaan lain yang cukup prospek seperti dana hibah luar negeri, investasi swasta, dana Corporate Social Responsibility (CSR), kredit perbankan, dan dana gampong. Kemudian strategi ketiga adalah tourism mainstreaming, menjadikan pariwisata sebagai sektor unggulan pengungkit pertumbuhan ekonomi Aceh.

Fokus pada poin ketiga, mengapa harus pariwisata? Ada beberapa alasan. Pertama, sektor pariwisata memiliki keunggulan karena sifatnya yang open and inclusive investment, dengan memberi ruang keterlibatan semua pihak sesuai dengan kapasitas modalnya masing-masing, mulai dari investor besar, koperasi dan UKM, komunitas, gampong, hingga per-individu masyarakat.

Jadi mulai dari investasi kelas kakap sampai yang paling kecil bisa berkontribusi sebagai pelaku sekaligus menjadi penerima manfaat dari program pengembangan kepariwisataan ini. Faktor inilah yang membuat multiplyer effects dari program pengembangan sektor kepariwisataan relatif lebih luas dibanding sektor-sektor lainnya.
Keluasan penerima manfaat dan kontribusi besarnya terhadap pendapatan devisa di tingkat global, telah memotivasi banyak negara di dunia saling berlomba menggali dan meningkatkan PDB-nya dari sektor ini. Kedua, nyaris setiap jengkal tanah Aceh adalah destinasi wisata dengan daya tarik dan pilihan yang cukup beragam, mulai dari wisata bahari, agrowisata, wisata tsunami, wisata riset, hingga wisata budaya dan sejarah.

Daya tarik wisata Aceh ini tidak kalah bahkan dalam beberapa aspek malah lebih unggul dibanding daerah-daerah lain. Tinggal dipoles dan dikelola saja dengan baik, maka Insya Allah akan memberikan dampak signifikan bagi ekonomi Aceh. Tren positif geliat pariwisata di Aceh Tengah, dataran tinggi Gayo, saat ini, sekadar contoh, adalah bukti nyata bahwa sektor ini sangat menjanjikan untuk digarap.

Ketiga, Aceh juga memiliki keunggulan dari sisi pasar. Thailand, Malaysia, plus Singapura adalah titik transit masuknya wisatawan mancanegara ke Indonesia. Secara geografis Aceh berada sangat dekat dengan ketiga titik ini. Di sinilah peluang Aceh bisa memanfaatkan momentum mempromosikan daya tarik wisatanya sehingga kunjungan wisatawan bisa meningkat pesat hingga terus bertumbuh menjadikan sektor pariwisata lokomotif utama pembangunan ekonomi Aceh.

Jika dimulai dari angle program pengentasan kemiskinan, maka ada dua fakta yang menjadi titik pijak bagi pilihan strategi terbaik yang perlu kita ambil untuk pembangunan dan pengembangan kepariwisataan Aceh ke depan, yaitu penyumbang terbesar angka kemiskinan Aceh itu adalah di sektor pertanian, di pedesaan. Itulah dua kata kuncinya, “pertanian’, dan “pedesaan”.

Nah, tidak ada konektor paling jitu untuk mengitervensi sekaligus menjadi solusi atas dua titik masalah ini, dengan beberapa basis argumentasi di atas, selain memperbanyak dan memperkuat kapasitas destinasi gampong wisata yang memang sudah mulai tumbuh embrionya.

Kebetulan Aceh diberkahi dengan potensi agro plus lanskap dan variabel pendukung yang cukup lengkap sehingga sangat potensial untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata agro dengan unit pengelolaan dan pengembangan berbasis gampong.

Jadi program pariwisata itu melekat pada sumber daya agro. Ketika keduanya bisa dikemas, diramu, dan dikembangkan secara komplementer menjadi sumber daya ekonomi, maka ia akan memberi nilai tambal double bagi masyarakat gampong, baik dari sisi komoditas agro maupun dari jasa pariwisatanya. Ini tentunya akan berdampak positif dalam meningkatkan perekonomian terutama bagi masyarakat gampong yang menjadi daerah kantung-kantung kemiskinan di Aceh.

Strateginya runut dan runtut. Pertama, program ini ditetapkan sebagai program strategis Pemerintah Aceh untuk memperkuat legitimasinya. Ketika legitimate, ia akan menjadi prakondisi bagi langkah kedua, memudahkan komitmen dukungan dari dinas teknis baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Langkah kedua ini kemudian juga menjadi prakondisi bagi langkah ketiga: integrasi, sinergi, dan kolaborasi antara dinas teknis terkait.

Kolaborasi tripartit, Bappeda, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong, dan Dinas Pariwisata secara berjenjang dari tingkat Pemerintah Aceh sampai ke pemerintah kabupaten dan kota, bisa berada di depan sebagai co-lead sector, kemudian diperkuat oleh support system dinas-dinas lainnya, seperti dinas PUPR, Perkim, perhubungan, dan sebagainya, yang ikut berkontribusi sesuai tufoksinya masing-masing. Jadi pendekatan kerjanya adalah kolaborasi, alias meuramien. Insya Allah akan berdampak mewujudkan Aceh yang lebih baik.

Sumber : SerambiNews

Translate