Home » Memaknai 56 Tahun ASEAN
ASEAN Berita Indonesia News

Memaknai 56 Tahun ASEAN

Jakarta – Tanggal 8 Agustus 2023, Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) memperingati hari jadinya ke-56 tahun. Yang membuat perayaan kali ini lebih bermakna, karena pada HUT ke-56 tahun ini Indonesia mendapat amanat untuk menjabat Keketuaan ASEAN, di tengah situasi dinamika kawasan dan dunia yang tidak menentu. Bahkan bisa dikatakan, situasi yang dihadapi ASEAN kali ini mirip dengan situasi geo-politik yang dihadapi ASEAN ketika pertama kali didirikan.

Bila dinilai dari konteksnya 56 tahun lalu, ASEAN berdiri di tengah kecamuk Perang Dingin antara dua adidaya dunia, Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Ketika itu, kawasan Asia Tenggara, khususnya Indochina (sekarang Vietnam, Kamboja, dan Laos), menjadi teater Perang Dingin paling kolosal yang menelan ribuan korban jiwa. Sehingga wajar bila skema kerja sama ASEAN tersebut kerap menuai kritik dari para pemangku kebijakan dan juga ilmuwan hubungan internasional, sebab tidak menyediakan instrumen intervensi dan vonis yang menjadi ciri umum organisasi kerja sama keamanan dunia.
Tapi siapa yang menyangka, setelah 56 tahun berlalu, asosiasi negara-negara kawasan Asia Tenggara ini masih tetap eksis hingga sekarang. Keanggotaannya pun sudah berkembang menjadi hampir 11 negara, dengan mitra dialog yang begitu luas. Hampir semua stakeholder global saat ini membina hubungan baik dan menguntungkan dengan ASEAN, mulai dari AS, Rusia, China, dan UE.

Dan, banyak yang tidak memperhatikan bahwa dari sekian banyak kawasan di seluruh dunia, hanya kawasan Asia Tenggara yang dalam 56 tahun terakhir tetap stabil dan menjadi “ekosistem perdamaian” paling kondusif. Bukan saja perdamaian yang dinikmati oleh sepuluh negara anggota ASEAN, melainkan juga dinikmati oleh hampir separuh penduduk dunia yang tinggal di wilayah sekitar Asia Tenggara.

Di atas rezim perdamaian inilah, lebih dari 50% komoditas perdagangan global bergerak dengan nyaman dan aman di jalur lalu lintas antarbenua. Dan, di atas rezim yang sama, miliaran manusia bisa menikmati tingkat pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan pasca Perang Dingin.

Menariknya, tepat setelah 56 tahun berlalu, kerja sama negara anggota ASEAN kembali dihadapkan pada tantangan yang mirip dengan skema atau konstelasi politik internasional ketika dulu mereka pertama kali membentuk ASEAN. Saat ini, hampir semua kekuatan adidaya dunia berkumpul dalam skema konfrontasi yang terus meningkat eskalasinya di jantung kekuatan ASEAN, yaitu Laut China Selatan (LCS).

Bahkan pada titik tertentu, situasi yang berkembang kali ini bisa dikatakan lebih kompleks dan rigit. Karena, situasi krisis saat ini tidak hanya memiliki core di aspek politik dan keamanan, melainkan juga di masalah ekonomi, perdagangan, sosial, kesehatan, pangan, krisis kemanusiaan, dan juga lingkungan hidup. Yang kesemua itu berjalin kelindan dengan isu-isu global yang sedang dihadapi dunia saat ini.

Meski demikian, kita patut memberikan apresiasi kepada kepemimpinan Indonesia di ASEAN selama menjabat keketuaan ASEAN satu tahun ini. Karena setidaknya, di bawah kepemimpinan Indonesia sekarang, ASEAN terbukti mampu memainkan peran strategis yang di kawasan dan internasional. Hal ini tercermin dari hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-42 yang sudah dilangsungkan di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) beberapa bulan lalu.

Indikator kesuksesan itu terlihat dari sejumlah poin kesimpulan yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, yaitu; pertama, hal yang menyentuh kepentingan rakyat menjadi perhatian penting para leaders, termasuk perlindungan pekerja migran dan korban perdagangan manusia. Dan, Presiden Jokowi mengajak negara-negara ASEAN untuk menindak tegas pelaku-pelaku utamanya.

Kedua, terkait Konflik Myanmar, Presiden Jokowi menyebut pencederaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan tidak bisa ditoleransi, dan five point consensus memandatkan ASEAN harus engage dengan semua stakeholder. Inklusivitas harus dipegang kuat oleh ASEAN karena kredibilitas ASEAN sedang dipertaruhkan. Selanjutnya, Presiden Jokowi memberikan kalimat menekankan, “Sehingga saya tadi menyampaikan di pertemuan bahwa kesatuan ASEAN sangat penting. Tanpa kesatuan akan mudah bagi pihak lain untuk memecah ASEAN. Dan, saya tidak yakin tidak satu pun, saya ulang, saya yakin tidak satu pun negara ASEAN menginginkan hal tersebut,” tegas Jokowi.

Ketiga, terkait penguatan Kerja sama ekonomi negara-negara ASEAN. Menurut Presiden Jokowi, hal ini sejalan dengan tujuan sentralitas ASEAN supaya ASEAN semakin kuat dan semakin mandiri. Selain itu, implementasi transaksi mata uang lokal dan konektivitas pembayaran digital antar negara sepakat untuk diperkuat.

Implementasi

Tiga kesimpulan di atas mendapat sambutan yang baik dari semua pihak. Meski begitu, tampaknya semua mengetahui, bukan hal mudah untuk mengimplementasikan kesimpulan tersebut di ranah praktis. Sebab, pada kenyataannya selama ini semua kesimpulan tersebut bukanlah hal yang baru didengar dan disepakati oleh para kepala negara ASEAN.

Kalaupun ada kesimpulan yang cukup realistis untuk diimplementasikan, mungkin hanya kesimpulan pertama. Adapun kesimpulan kedua misalnya, terkait 5 poin konsensus, sebenarnya sudah muncul cukup lama sejak 24 April 2021. Tapi, faktanya sudah dua tahun berlalu tidak ada sedikit pun kemajuan dari konsensus tersebut. Publik justru menilai bahwa pemerintahan junta militer di Myanmar tampak mengabaikan, bahkan melecehkan hasil konsensus tersebut, dengan tidak membuka ruang sedikit pun bagi pihak luar untuk melakukan dialog (engagement) ke dalam negerinya.

Kemudian untuk implementasi transaksi mata uang lokal dan konektivitas pembayaran digital antarnegara anggota ASEAN, muncul sejumlah pertanyaan penting; bagaimana implementasi praktisnya? Sebab, kelemahan LCS sebagai kebijakan moneter, dapat mudah dipengaruhi oleh kondisi politik di negara Indonesia dan negara mitra. Kuotasi nilai tukar mata uang tidak bisa selalu sama dan akan berubah sesuai pasar keuangan dunia, dan salah satu negara dapat lebih diuntungkan atau dirugikan akibat persaingan perdagangan dan investasi yang mempengaruhi nilai tukar mata uang local.

Sedemikian sehingga, rencana itu hanya membangun anggapan bahwa KTT ASEAN ini hanya cerita lama dari 2018 untuk menjadi etalase diplomasi kawasan kepada para adidaya dunia yang sedang bersaing di kawasan ini seperti AS dan China. Sebab, ASEAN dianggap market strategis dan stabilitas kawasan yang menjadi penyeimbang perang dua kutub ekonomi dunia (pertemuan).

Tetapi, dinamika politik internasional sama seperti politik pada umumnya. Apa yang tampak di etalase biasanya hanya kamuflase gerakan untuk penyampaikan pesan yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, hampir tidak mungkin para pemimpin negara ASEAN melahirkan kesimpulan yang tanpa makna.

Menurut hemat saya, di balik semua kesimpulan yang dihasilkan oleh KTT ASEAN ke-42 lalu adalah upaya untuk tetap menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai zona netral yang stabil di tengah dinamika pertarungan kepentingan adidaya global di kawasan ini.

Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam beberapa tahun terakhir, reli politik antara dua adidaya dunia, yaitu AS dan China terus berlangsung di Kawasan Asia Tenggara, khususnya LCS. Saat ini, reli tersebut telah berkembang sedemikian rupa, dan secara bertahap mulai menyusun formasi konflik seperti Perang Dingin yang terjadi lebih dari setengah abad yang lalu di kawasan ini.

Untuk menghalau pengaruh China yang kian meluas di Kawasan Indo-Pasifik, AS membentuk aliansi informal yang terdiri dari empat negara, yaitu AS, Jepang, India, dan Australia dalam skema dialog keamanan persegi empat (The Quadrilateral Security Dialogue) atau dikenal dengan nama The Quad.

Tapi belakangan –mungkin disebabkan tensi persaingan yang kian meningkat– AS sudah mulai menyeret masuk sekutu-sekutu tradisionalnya di NATO untuk ikut hadir meramaikan peta persaingan di kawasan ini. Yang paling mengemuka akhir-akhir ini adalah munculnya aliansi strategis tiga negara, yaitu AS, Inggris, dan Australia atau dikenal dengan nama AUKUS.

AUKUS sendiri merupakan kerja sama trilateral strategis yang mengedepankan inisiatif pertamanya dalam pengembangan kapal selam berteknologi nuklir (nuclear-powered attack submarine/SSN) di Adelaide (Australia). Pola kerja sama ini diharapkan akan meningkatkan pengembangan teknologi, keterlibatan para ilmuwan, cybersecurity, keamanan bawah laut, dan pengembangan industri pertahanan dalam wacana menjaga perdamaian dan keamanan kawasan.

Sekiranya itulah nada argumentasi yang disuarakan oleh Canberra, Washington D.C, dan London dalam kerangka pandangan terhadap marwah social justice (keadilan sosial) di kawasan Indo-Pasifik. Meski bertajuk “social justice”, tapi sulit dipungkiri bahwa kehadiran AUKUS di kawasan ini telah menambah panjang daftar potensi ancaman yang mungkin dihadapi oleh kawasan ini ke depan.

Jangankan China dan negara-negara ASEAN yang jelas merasa terancam dengan adanya aliansi strategis itu, bahkan Prancis yang merupakan sekutu tradisional AS, juga sempat merasa tersinggung dengan mengusir diplomat AS dari negerinya sebagai bentuk proses atas munculnya kerja sama tersebut.

Dengan kata lain, tidak ada yang bisa mengukur secara pasti puncak dari dinamika yang terus terlangsung di Kawasan Indo-Pasifik dalam beberapa bulan atau tahun ke depan. Tapi yang pasti, hampir semua aktor yang bersaing di Kawasan ini sepakat bahwa ASEAN, khususnya Indonesia adalah center of excellence dari mega kawasan yang membentang dari Pantai Timur Afrika hingga ke Pantai Barat Amerika ini.

Dalam peta geo-politik yang seperti itu, satu-satunya pesan strategis dari KTT ASEAN yang bisa kita pahami sebagai premis utama adalah “Persatuan negara-negara ASEAN”. Sebab secara teoritis, hampir tidak mungkin negara-negara seperti AS dan China akan melakukan perang terbuka.

Yang bisa mereka lakukan adalah mencari proxy war sebagai arena pertarungan, seperti Indochina pada masa Perang Dingin sekitar setengah abad yang lalu. Dan, hal itu tidak akan terjadi jika negara-negara di kawasan ini memiliki kesepahaman untuk menjaga persatuan dan tidak mau dipecah belah. Adapun hasil atau kesimpulan KTT ASEAN ke-42 ini adalah instrumen politik untuk mencapai maksud tersebut. Dirgahayu, ASEAN!

Sumber: Detik News

Translate